Perseteruan antara parlemen (DPR-RI) dengan presiden yang
berakhir dengan jatuhnya presiden Wahid melalui Sidang istimewa MPR, kembali
menyadarkan kita betapa urgent kedudukan parlemen dalam sebuah sistem
pengelolaan negara yang demokratis. Institusi legislatif baik yang berada di
pusat maupun di tingkat daerah memang memiliki fungsi kontrol terhadap
pemerintah. Dan bukan tidak mungkin diera otonomi daerah seperti sekarang ini,
impeachment semacam itu menimpa seorang kepala daerah. Seperti diketahui
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, seorang kepala daerah,
baik itu Gubernur, Walikota maupun Bupati diangkat dan bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selaku parlemen daerah. Meminjam
perumpamaan Mansyah Add ketua DPRD Kalimantan Selatan bahwa jatuhnya presiden
Gus Dur bisa menjadi pelajaran berharga bagi pejabat di daerah termasuk di
Kalimantan Selatan (Bpost, 24 Juli 2001).
Salah satu fungsi
kontrol yang dimiliki DPRD adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja
pemerintah daerah termasuk didalamnya menyangkut pelak-sanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal pengelolaan keuangan daerah,
meskipun kepala daerah berwenang penuh dalam penyu-sunan dan pengelolaannya,
akan tetapi harus tetap melibatkan DPRD. Dalam pasal 22 PP Nomor 105 tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, bahkan disebutkan
bahwa tanpa persetujuan dari DPRD, rancangan APBD yang diajukan Kepala Daerah
tidak dapat dilaksanakan. Pengelolaan Keuangan Daerah Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya adalah suatu rencana keuangan tahunan
daerah dalam satuan rupiah, yang merupakan pedoman bagi pemerintah daerah dalam
melakukan pengelolaan keuangan dae-rahnya. Secara garis besar APBD terdiri dari
dua komponen pokok yaitu Pendapatan dan Belanja daerah.
Komponen
pendapat-an terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan
sedangkan komponen belanja daerah terdiri dari Belanja Rutin dan Belanja
Pembangunan. Anggaran belanja rutin digunakan untuk membiayai
teknis operasional
dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Sedangkan
anggaran belanja pembangunan dialoka-sikan untuk penyediaan infrastruktur baik
yang berupa fisik maupun non fisik dalam rangka meningkatkan kinerja
perekonomian daerah maupun aspek kehidupan lainnya.
Dalam rangka
otonomi daerah, pemerintah (baca: pusat) telah menerbitkan berbagai peraturan
perundang-undangan baik yang berupa Undang-Undang (UU) maupun Peraturan
Pemerintah (PP). Salah satu dari peraturan pemerintah tersebut adalah PP Nomor
105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggung-jawaban Keuangan Daerah. Didalam PP yang merupakan bagian dari paket peraturan pemerintah sebagai
peraturan pelaksana dari UU No. 22 dan
25 tahun 1999 ini, terdapat beberapa hal prinsip menyangkut pengelolaan keuangan daerah antara lain:
a. Sesuai dengan
prinsip pemisahan
kewenangan antara eksekutif dan legislatif daerah, maka penyusunan APBD diserahkan
sepenuhnya kepada Kepala Daerah. Peran DPRD adalah memberikan penilaian
terhadap rancangan APBD yang diajukan eksekutif untuk kemudian mem-berikan
persetujuan ataupun menolaknya. Kemudian diakhir periode yang bersang-kutan,
kepala daerah selaku mandataris DPRD memberikan pertanggungjawaban terhadap
pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk: Laporan Perhitungan APBD,Nota
Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.
b. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang
terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan. Selisih lebih
pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sementara
selisih kurang pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut defisit
anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran.
Struktur APBD seperti ini yang dikenal sebagai sistem staffel akan memberikan
kemudahan bagi DPRD untuk memberikan penilaian terhadap kinerja eksekutif dalam
pengelolaan keuangan daerah. Berbeda dengan struktur APBD sebelumnya yang menganut
asas keseimbangan atau dikenal sebagai T- Account.
c. Penyusunan APBD dilakukan dengan pendekatan
kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil
kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Sedangkan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dikembangkan
standar analisa belanja, tolok ukur kinerja dan standar biaya. Hal ini akan
memungkinkan pihak DPRD dalam melakukan appraisal terhadap pengelolaan keuangan
daerah mempunyai tolok ukur yang jelas sehingga dapat melaksanakan fungsi
pengawasannya secara maksimal.
d. Semua dokumen menyangkut pengelolaan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan keuangan daerah yang berupa APBD, Perubahan
APBD, dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan
dokumen daerah. Format Peraturan Daerah ini membawa konsekwensi bahwa setiap
pembuatannya harus atas persetu-juan DPRD sebagai badan legislatif daerah itu sendiri.
Dalam hal pengawasan
pengelolaan keuangan daerah misalnya, sebagai sebuah lembaga yang terbentuk
dari proses politik, bukan tidak mungkin DPRD memiliki keterbatasan sumber daya
manusia yang expert dalam hal itu. Akan menjadi hal yang cukup memprihatinkan
tentunya apabila dewan keliru dalam memberikan penilaian terhadap kinerja
eksekutif, apalagi menyangkut pengelola-an keuangan negara yang sangat rentan
terhadap penyelewengan. untuk itu, selain harus meningkatkan kualitas pribadi
anggota dewan, keadaan seperti ini bisa diantisipasi dengan melakukan kerjasama
dengan lembaga–lembaga pengawasan pengelolaan keuangan negara yang ada, baik
lembaga intern seperti Badan Penga-wasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan
Badan Pengawas Daerah (BPD) maupun lembaga ekstern pemerin-tah yaitu Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa pengelolaan keuangan negara diluar Peran
DPRD Dalam teori ilmu politik dikenal adanya infrastruktur dan suprastruktur
politik. Infrastruktur politik yang didalamnya termasuk tokoh masyarakat dan partai
politik, berfungsi sebagai lembaga rekruitmen dalam membentuk lembaga
legislatif. Lembaga yang dihasilkan melalui pemilu ini kemudian akan berwenang
membentuk pemerintahan. Selanjutnya kedua institusi suprastruktur politik ini
secara bersama-sama membuat berbagai bentuk norma dan aturan yang akan
berfungsi sebagai pedoman hidup bersama dalam komunitas berbangsa dan
bernegara. Sebagai sebuah institusi yang dibentuk melalui pemilihan umum, DPRD
merupakan representasi kehendak rakyat di daerah.
Selain berwenang membentuk
pemerintahan yang ada di daerah, selaku lembaga legislatif daerah, DPRD juga
berhak untuk terlibat dalam prosespembuatan peraturan yang akan berlaku secara
lokal tersebut. Dalam konteks ini, peran DPRD selaku penyambung aspirasi rakyat
pemilihnya sangatlah urgent. Jika berhasil memberikan warna pada peraturan yang
dihasilkan sesuai dengan kepentingan rakyat, maka peran dewan bisa dianggap
berhasil. Begitupun sebaliknya, jika DPRD hanya berperan sebagai “tukang
stempel” pemerintah daerah, berarti dewan gagal dalam melaksanakan fungsi
legislasinya. Diera otonomi daerah, peran DPRD menjadi semakin bertambah
penting disamping begitu luasnya kewenangan eksekutif daerah. Bahkan karena
alasan dan melalui mekanisme tertentu, DPRD dapat memberhentikan kepala daerah
setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir.
Dalam hal pengawasan, DPRD
juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah-an
daerah termasuk didalamnya pelaksa-naan pengelolaan keuangan daerah. Luasnya
kewenangan DPRD tersebut merupakan konsekuensi logis dari prinsip kedaulatan
rakyat dalam sebuah negara demokrasi. Meskipun demikian, hal ini bisa menjadi
bumerang bagi kedaulatan rakyat eksekutif, telah menyiapkan langkah-langkah
strategis menghadapi trend otonomi daerah tersebut. Desentralisasi organisasi
serta relokasi pegawai ke perwakilan-perwakilan BPK yang ada di daerah, akan
segera dilakukan. Relokasi kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah daerah
bukan tidak mungkin akan ikut merelokasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
yang selama tiga dasawarsa menjangkiti pemerintah pusat. Dalam konteks ini
Perwakilan BPK yang memiliki akses pemeriksaan pelaksanaan APBD dan BUMD bisa
menjadi mitra strategis bagi DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan keuangan daerah. Distribusi Hasil Pemeriksaan (HP) perwakilan BPK
yang salah satunya kepada DPRD akan lebih memudahkan institusi ini dalam
melakukan fungsi pengawasannya.
No comments:
Post a Comment