Monday 12 December 2016

PERAN DPRD PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Perseteruan antara parlemen (DPR-RI) dengan presiden yang berakhir dengan jatuhnya presiden Wahid melalui Sidang istimewa MPR, kembali menyadarkan kita betapa urgent kedudukan parlemen dalam sebuah sistem pengelolaan negara yang demokratis. Institusi legislatif baik yang berada di pusat maupun di tingkat daerah memang memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah. Dan bukan tidak mungkin diera otonomi daerah seperti sekarang ini, impeachment semacam itu menimpa seorang kepala daerah. Seperti diketahui berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, seorang kepala daerah, baik itu Gubernur, Walikota maupun Bupati diangkat dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selaku parlemen daerah. Meminjam perumpamaan Mansyah Add ketua DPRD Kalimantan Selatan bahwa jatuhnya presiden Gus Dur bisa menjadi pelajaran berharga bagi pejabat di daerah termasuk di Kalimantan Selatan (Bpost, 24 Juli 2001).

Salah satu fungsi kontrol yang dimiliki DPRD adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah daerah termasuk didalamnya menyangkut pelak-sanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, meskipun kepala daerah berwenang penuh dalam penyu-sunan dan pengelolaannya, akan tetapi harus tetap melibatkan DPRD. Dalam pasal 22 PP Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, bahkan disebutkan bahwa tanpa persetujuan dari DPRD, rancangan APBD yang diajukan Kepala Daerah tidak dapat dilaksanakan. Pengelolaan Keuangan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah dalam satuan rupiah, yang merupakan pedoman bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan dae-rahnya. Secara garis besar APBD terdiri dari dua komponen pokok yaitu Pendapatan dan Belanja daerah.

Komponen pendapat-an terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan sedangkan komponen belanja daerah terdiri dari Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan. Anggaran belanja rutin digunakan untuk membiayai

teknis operasional dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Sedangkan anggaran belanja pembangunan dialoka-sikan untuk penyediaan infrastruktur baik yang berupa fisik maupun non fisik dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah maupun aspek kehidupan lainnya.

Dalam rangka otonomi daerah, pemerintah (baca: pusat) telah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan baik yang berupa Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Pemerintah (PP). Salah satu dari peraturan pemerintah tersebut adalah PP Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan  Pertanggung-jawaban Keuangan Daerah. Didalam PP yang merupakan bagian  dari paket peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 22  dan 25 tahun 1999 ini, terdapat beberapa hal prinsip menyangkut pengelolaan  keuangan daerah antara lain:

a. Sesuai dengan prinsip pemisahan
kewenangan antara eksekutif dan legislatif daerah, maka penyusunan APBD diserahkan sepenuhnya kepada Kepala Daerah. Peran DPRD adalah memberikan penilaian terhadap rancangan APBD yang diajukan eksekutif untuk kemudian mem-berikan persetujuan ataupun menolaknya. Kemudian diakhir periode yang bersang-kutan, kepala daerah selaku mandataris DPRD memberikan pertanggungjawaban terhadap pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk: Laporan Perhitungan APBD,Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.

b. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sementara selisih kurang pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran. Struktur APBD seperti ini yang dikenal sebagai sistem staffel akan memberikan kemudahan bagi DPRD untuk memberikan penilaian terhadap kinerja eksekutif dalam pengelolaan keuangan daerah. Berbeda dengan struktur APBD sebelumnya yang menganut asas keseimbangan atau dikenal sebagai T- Account.

c. Penyusunan APBD dilakukan dengan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Sedangkan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dikembangkan standar analisa belanja, tolok ukur kinerja dan standar biaya. Hal ini akan memungkinkan pihak DPRD dalam melakukan appraisal terhadap pengelolaan keuangan daerah mempunyai tolok ukur yang jelas sehingga dapat melaksanakan fungsi pengawasannya secara maksimal.

d. Semua dokumen menyangkut pengelolaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan keuangan daerah yang berupa APBD, Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan dokumen daerah. Format Peraturan Daerah ini membawa konsekwensi bahwa setiap pembuatannya harus atas persetu-juan DPRD sebagai badan legislatif daerah itu sendiri.

Dalam hal pengawasan pengelolaan keuangan daerah misalnya, sebagai sebuah lembaga yang terbentuk dari proses politik, bukan tidak mungkin DPRD memiliki keterbatasan sumber daya manusia yang expert dalam hal itu. Akan menjadi hal yang cukup memprihatinkan tentunya apabila dewan keliru dalam memberikan penilaian terhadap kinerja eksekutif, apalagi menyangkut pengelola-an keuangan negara yang sangat rentan terhadap penyelewengan. untuk itu, selain harus meningkatkan kualitas pribadi anggota dewan, keadaan seperti ini bisa diantisipasi dengan melakukan kerjasama dengan lembaga–lembaga pengawasan pengelolaan keuangan negara yang ada, baik lembaga intern seperti Badan Penga-wasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawas Daerah (BPD) maupun lembaga ekstern pemerin-tah yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa pengelolaan keuangan negara diluar Peran DPRD Dalam teori ilmu politik dikenal adanya infrastruktur dan suprastruktur politik. Infrastruktur politik yang didalamnya termasuk tokoh masyarakat dan partai politik, berfungsi sebagai lembaga rekruitmen dalam membentuk lembaga legislatif. Lembaga yang dihasilkan melalui pemilu ini kemudian akan berwenang membentuk pemerintahan. Selanjutnya kedua institusi suprastruktur politik ini secara bersama-sama membuat berbagai bentuk norma dan aturan yang akan berfungsi sebagai pedoman hidup bersama dalam komunitas berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah institusi yang dibentuk melalui pemilihan umum, DPRD merupakan representasi kehendak rakyat di daerah.

Selain berwenang membentuk pemerintahan yang ada di daerah, selaku lembaga legislatif daerah, DPRD juga berhak untuk terlibat dalam prosespembuatan peraturan yang akan berlaku secara lokal tersebut. Dalam konteks ini, peran DPRD selaku penyambung aspirasi rakyat pemilihnya sangatlah urgent. Jika berhasil memberikan warna pada peraturan yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan rakyat, maka peran dewan bisa dianggap berhasil. Begitupun sebaliknya, jika DPRD hanya berperan sebagai “tukang stempel” pemerintah daerah, berarti dewan gagal dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Diera otonomi daerah, peran DPRD menjadi semakin bertambah penting disamping begitu luasnya kewenangan eksekutif daerah. Bahkan karena alasan dan melalui mekanisme tertentu, DPRD dapat memberhentikan kepala daerah setiap saat sebelum masa jabatannya berakhir.

Dalam hal pengawasan, DPRD juga memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah-an daerah termasuk didalamnya pelaksa-naan pengelolaan keuangan daerah. Luasnya kewenangan DPRD tersebut merupakan konsekuensi logis dari prinsip kedaulatan rakyat dalam sebuah negara demokrasi. Meskipun demikian, hal ini bisa menjadi bumerang bagi kedaulatan rakyat eksekutif, telah menyiapkan langkah-langkah strategis menghadapi trend otonomi daerah tersebut. Desentralisasi organisasi serta relokasi pegawai ke perwakilan-perwakilan BPK yang ada di daerah, akan segera dilakukan. Relokasi kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah daerah bukan tidak mungkin akan ikut merelokasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang selama tiga dasawarsa menjangkiti pemerintah pusat. Dalam konteks ini Perwakilan BPK yang memiliki akses pemeriksaan pelaksanaan APBD dan BUMD bisa menjadi mitra strategis bagi DPRD dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah. Distribusi Hasil Pemeriksaan (HP) perwakilan BPK yang salah satunya kepada DPRD akan lebih memudahkan institusi ini dalam melakukan fungsi pengawasannya.


No comments:

Post a Comment